Kamis, 06 Juni 2013

Hukum Ketenagakerjaan



 BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sistem Jaminan Sosial Nasional merupakan program negara yang bertujuan memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, yaitu: dalam Pasal 28 H ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) dan Pasal 34 ayat (1) ayat (2) dan melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor X/MPR/2001, dimana Presiden ditugaskan untuk membentuk sistem jaminan sosial nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial bagi masyarakat yang lebih menyeluruh dan terpadu.
Jaminan sosial ini merupakan satu bentuk sistem perlindungan sosial. Rys (2011) menyatakan perlindungan sosial lazimnya dipahami sebagai intervensi terpadu oleh berbagai pihak untuk melindungi individu, keluarga, atau komunitas dari berbagai resiko kehidupan sehari-hari yang mungkin terjadi, atau untuk mengatasi berbagai dampak guncangan ekonomi, atau untuk memberikan dukungan bagi kelompok-kelompok rentan di masyarakat. Sistem perlindungan sosial yang bersifat formal dapat dikelompokkan dalam beberapa bentuk yaitu (i) bantuan sosial (social assistance), (ii) tabungan hari tua (provident fund), (iii) asuransi sosial (social assurance), (iv) tanggung jawab pemberi kerja (employer’s liability) (Kertonegoro, 1982).
Sehubungan dengan hal tersebut, maka telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sebagai wujud komitmen pemerintahan dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial Nasional, selanjutnya ditindaklanjuti dengan membentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Hal ini juga berkait dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi terhadap perkara Nomor 007/PUU-III/2005.
Pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) juga akan melahirkan transformasi kelembagaan dari beberapa perusahaan persero yang selama ini ada, yaitu: PT. Jamsostek (Persero), PT. TASPEN (Persero), PT. ASABRI (Persero) dan PT. Askes (Persero), menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), yang berubah status menjadi badan hukum publik. Selain itu badan penyelenggara Jaminan Sosial selanjutnya akan dilaksanakan oleh 2 (dua) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), yaitu badan Penyelenggara Jaminan sosial (BPJS) Kesehatan dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Transformasi badan-badan penyelenggara jaminan sosial tersebut akan dilanjutkan dengan pengalihan peserta, program, aset dan liabilitas, pegawai, serta hak dan kewajiban.
B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut :
1)      Bagaimana Sejarah terbentuknya Jamsostek ?
2)      Mengapa diperlukan perubahan badan hukum pada BPJS ?
3)      Bagaimana proses kesetaraan bentuk badan hukum badan penyelenggara BPJS?
4)      Bagaimana proses transformasi PT. Jamsostek menjadi BPJS ketenagakerjaan ?
C.    Tujuan
Adapun tujuan pada makalah ini adalah sebagai berikut :
1)      Untuk mengetahui sejarah terbentuknya Jamsostek
2)      Untuk mengetahui perlunya perubahan badan hukum pada BPJS
3)      Untuk mengetahui proses kesetaraan bentuk badan hukum badan penyelengaraan BPJS
4)      Untuk mengetahui proses transformasi PT. Jamsostek menjadi BPJS ketenagakerjaan




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Terbentuknya Jamsostek
Penyelenggaraan program jaminan sosial merupakan salah satu tangung jawab dan kewajiban Negara - untuk memberikan perlindungan sosial ekonomi kepada masyarakat. Sesuai dengan kondisi kemampuan keuangan Negara, Indonesia seperti halnya berbagai Negara berkembang lainnya, mengembangkan program jaminan sosial berdasarkan funded social security, yaitu jaminan sosial yang didanai oleh peserta dan masih terbatas pada masyarakat pekerja di sektor formal.
Sejarah terbentuknya PT Jamsostek (Persero) mengalami proses yang panjang, dimulai dari UU No.33/1947, UU No.2/1951 tentang kecelakaan kerja, Peraturan Menteri Perburuhan (PMP) No.48/1952, PMP No.8/1956 tentang pengaturan bantuan untuk usaha penyelenggaraan kesehatan buruh, PMP No.15/1957 tentang pembentukan Yayasan Sosial Buruh, PMP No.5/1964 tentang pembentukan Yayasan Dana Jaminan Sosial (YDJS), diberlakukannya UU No.14/1969 tentang Pokok-pokok Tenaga Kerja, secara kronologis proses lahirnya asuransi sosial tenaga kerja semakin transparan.
Setelah mengalami kemajuan dan perkembangan, baik menyangkut landasan hukum, bentuk perlindungan maupun cara penyelenggaraan, pada tahun 1977 diperoleh suatu tonggak sejarah penting dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) No.33 tahun 1977 tentang pelaksanaan program asuransi sosial tenaga kerja (ASTEK), yang mewajibkan setiap pemberi kerja/pengusaha swasta dan BUMN untuk mengikuti program ASTEK. Terbit pula PP No.34/1977 tentang pembentukan wadah penyelenggara ASTEK yaitu Perum Astek.
Tonggak penting berikutnya adalah lahirnya UU No.3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK). Dan melalui PP No.36/1995 ditetapkannya PT Jamsostek sebagai badan penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Program Jamsostek memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan minimal bagi tenaga kerja dan keluarganya, dengan memberikan kepastian berlangsungnya arus penerimaan penghasilan keluarga sebagai pengganti sebagian atau seluruhnya penghasilan yang hilang, akibat risiko sosial.
Selanjutnya pada akhir tahun 2004, Pemerintah juga menerbitkan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, yang berhubungan dengan Amandemen UUD 1945 dengan perubahan pada pasal 34 ayat 2, dimana Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah mengesahkan Amandemen tersebut, yang kini berbunyi: "Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan". Manfaat perlindungan tersebut dapat memberikan rasa aman kepada pekerja sehingga dapat lebih berkonsentrasi dalam meningkatan motivasi maupun produktivitas kerja.
Kiprah Perseroan yang mengedepankan kepentingan dan hak normative Tenaga Kerja di Indonesia terus berlanjut. Sampai saat ini, PT Jamsostek (Persero) memberikan perlindungan 4 (empat) program, yang mencakup Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) bagi seluruh tenaga kerja dan keluarganya.
Dengan penyelenggaraan yang makin maju, program Jamsostek tidak hanya bermanfaat kepada pekerja dan pengusaha tetapi juga berperan aktif dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian bagi kesejahteraan masyarakat dan perkembangan masa depan bangsa.

B.     Perlunya Perubahan Badan Hukum pada BPJS  
Pemerintah, SJSN dan BPJS saling berkaitan satu sama lain. Dalam teori jaminan sosial sebagaimana dikemukakan Prof. George Rejda (1995) bahwa  pemerintah dalam penyelenggaraan jaminan sosial adalah satu pemerintah sehingga tidak ada lagi dikhotomi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, karena jaminan sosial sebagai faktor determinan berdirinya sebuah negara kesatuan termasuk di negara federasi untuk kesejahteraan rakyat.  Karena itu, teori tersebut diadopsi dalam UU SJSN bahwa fungsi pemerintah (baik pemerintah pusat maupun dan pemerintah pemerintah daerah) dalam penyelenggaraan sistem jaminan sosial disamping sebagai pengawas/regulator, juga sebagai fasilitator dan kontributor.
Adapun alasan penyelenggaraan jaminan sosial secara nasional adalah bahwa jaminan sosial sebagai instrumen negara yang dirancang untuk redistribusi risiko secara nasional sesuai asas dan prinsip-prinsip UU SJSN. SJSN adalah sistem jaminan sosial seumur hidup untuk keperluan perlindungan bagi seluruh rakyat (kaya, menengah dan miskin) sehingga bersifat mengikat dalam kewajiban baik tenaga-kerja, pemberi-kerja dan pemerintah). BPJS adalah wadah yang independen yang didukung dengan UU untuk mewujudkan terselenggaranya SJSN yang efektif. Karena dalam penyelenggaraan program jaminan sosial sebelumnya oleh Jamsostek, Taspen, Askes dan Asabri pada dasarnya telah sedang melakukan praktek dana amanah, maka dengan sendirinya wadahnya  merupakan wali amanat.  Berikut penjelasan singkat tentang ragam-dimensi jaminan sosial yang menjadi kewenangan BPJS yang dibentuk dengan UU :  
a)      Instrumen instrumen negara untuk pencegahan kemiskinan, pemberdayaan komunitas yang kurang beruntung dan pengentasan kemiskinan; 
b)      Penciptaan pendapatan hari tua bagi peserta, karena iuran jaminan hari tua pada dasarnya merupakan konsumsi yang ditangguhkan; 
c)      Salah satu faktor ekonomi untuk redistribusi risiko bagi yang memerlukan seperti bantuan iuran dari pemerintah untuk program kesehatan bagi penduduk miskin; 
d)     Alat monitor untuk minimalisasi uang primer melalui penguncian dana publik untuk tujuan investasi jangka panjang; 
e)      Faktor pengikat berdirinya sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena adanya kepastian jaminan dasar. 
C.    Kesetaraan Bentuk Badan Hukum Badan Penyelenggara BPJS
Dengan memperhatikan dimensi jaminan sosial yang sangat beragam itu, maka BPJS sebaiknya memiliki otonomi khusus seperti di negara negara lain setara dengan departemen walaupun pimpinan lembaga tersebut tidak merupakan bagian dari kabinet. Kedudukan lembaga tersebut khusus untuk jaminan sosial berada pada negara federal sedang jaringan untuk pelayanan kesehatan kepada peserta tersebar di seluruh negara bagian termasuk di tingkat distrik. 
BPJS yang otonom ini sesungguhnya merupakan departemen jaminan sosial yang dipimpin seorang Menteri yang biasanya menangani program bantuan sosial seperti Inggris, Australia dan Selandia Baru. Bantuan sosial  merupakan salah satu komponen jaminan sosial seperti asuransi sosial yang dibentuk dengan UU yang terpisah dengan UU Bantuan Sosial. Badan penyelenggara program asuransi sosial pada umumnya merupakan lembaga semi otonomi atau lembaga non-departemen yang dipimpin Ketua /  Kepala tetapi tetap memiliki otoritas  dalam  penindakan hukum dan penetapan manfaat program sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Akan tetapi kewenangan penindakan hukum di Indonesia sebagaimana mengacu pada UU No. 8 Tahun 1981 Tentang Penyidikan Umum merupakan kewenangan Polri dan PNS di bidangnya masing masing, karena Indonesia menganut hukum kontinental.
Perbedaan antara lembaga otonomi dan lembaga semi-otonomi jaminan sosial terletak pada lingkup yang ditangani. Misalkan program bantuan sosial yang tugas utamanya:  reduksi  kemiskinan dan pemberdayaan  komunitas yang kurang beruntung yang selanjutnya ditindak-lanjuti dengan bantuan skema financial mikro dengan melibatkan dukungan lintas kementerian.  
BPJS harus setara dengan departemen dan atau paling tidak setara dengan  lembaga non kementerian, karena fungsi dan tugas yang diemban setara dengan departemen, sebagai contoh US social security administration merupakan lembaga otonomi setara dengan departemen walaupun hanya menangani program hari tua, kematian dan asuransi pengangguran. Akan tetapi, lembaga ini memiliki jaringan yang luas dengan berbagai departemen yang terkait dengan sistem jaminan sosial. Dalam hal penyelenggaraan jaminan sosial, negara bagian tidak menyelenggarakan administrasi jaminan sosial melainkan mefasilitasi infrastruktur jarinangan kesehatan yang tersebar di seluruh negara bagian untuk menopang program jaminan social yang diselenggarakan Negara federal.  Adanya wacana untuk pembentukan BPJS tunggal oleh Konsultan Asing di Indonesia biasanya hanya berlaku untuk pembentukan DJSN setara dengan Kementerian yang melakukan fungsi regulasi. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa di seluruh dunia khususnya di Asean pembentukan BPJS.
BPJS masih fokus pada BPJS per kepesertaan, yaitu terpisahnya BPJS kepesertaan tenaga kerja sektor swasta, BPJS kepesertaan PNS dan BPJS kepesertaan TNI-Polri beserta PNS yang bekerja di Kementerian Pertahanan dan THI-Polri. BPJS tersebut masih relevan dipertahankan karena perbedaan masalah labor turnover. Labor turnover di sektor swasta sangat tinggi sedangkan labor turnover di sektor publik relatif rendah sehingga masih relevan mempertahankan BPJS per kepesertaan untuk alasan keseimbangan dalam implementasi UU SJSN di masa datang.    
Implementasi UU No. 40 Tahun 2004 adalah sebagai titik awal harapan menuju welfare state. Harapan yang besar dalam mewujudkan welfare state sepenuhnya tergantung dari komitmen, konsensus para penyelenggara negara dan kordinasi instansi terkait serta dukungan masyarakat, karena tujuan social security adalah untuk kesejahteraan rakyat Indonesia melalui pemusatan risiko (pooling of risk). Tidak hanya itu, tugas yang terberat dalam penyelenggaraan SJSN ke depan adalah sinkronisasi aturan perundangan yang menjadi tanggung-jawab Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN).  Karena itu, seluruh komponen  Negara yang meliputi pemerintah, pemberi-kerja, tenaga kerja dan masyarakat luas harus  mematuhi secara bersama dan mengakui keberadaan UU No. 40 Tahun 2004 Tentang SJSN. Kepatuhan terhadap UU SJSN tersebut semata ditujukan bagi kepentingan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28-H dan Pasal 34 UUD 1945.  
Eksistensi  BPJS sebagai adminstratur jaminan sosial  yang memerlukan beberapa BPJS sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 5 UU SJSN adalah adalah ditujukan untuk mengimplementasikan prinsip kepesertaan wajib dan prinsip gotong royong.  Prinsip kepesertaaan wajib berlaku secara nasional. Prinsip kepesertaan wajib adalah salah satu kharakteristik asuransi sosial / jaminan sosial. Karena itu diperlukan satu BPJS atau beberapa BPJS agar terjadi pemusatan risiko (pooling of risk) untuk redistribusi risiko. Efektifitas dalam penyelenggaraan jaminan social untuk memenuhi prinsip solidaritas (gotong royong) diperlukan satu atau beberapa administrator penyelenggara yang dikukung dengan berbagai fasilitas fasilitas kesehatan yang tersebar di seluruh Negara bagian. Dalam istilah jaminan sosial sebagai public goods  sebenarnya tidak dikenal  istilah dikhotomi antara pemerintah federal dan pemerintah negara bagian. Demikian halnya dengan NKRI juga tidak boleh ada istilah pemerintah pusat dan pemerinah daerah dalam penyelenggaraan jaminan sosial tetapi yang ada pengertian pemerintah secara keseluruhan sebagai penanggung jawab  terhadap penyelenggaraan  jaminan sosial. 
Eksistensi BPJS yang sekarang ada sebaiknya mengadopsi pada asas asas dan prinsip prinsip UU SJSN sebagaimana dinyatakan dalam Pasal-pasal 2 dan 4 UU No. 40 Tahun 2004 untuk segera mempersiapkan transformasi BUMN Persero ke badan hukum nirlaba.  
Penyelenggaraan program jaminan sosial oleh BUMN Persero selama ini cenderung eksklusif. Salah satu kegagalan dalam reduksi kemiskinan sebagai tema utama dalam Konferensi GTZ se Asia di New Delhi pada tanggal 14-16 September 2009 adalah adanya kebijakan pembangunan yang bersifat eksklusif khususnya di Asia kecuali Jepang dan Korea  Selatan. Kebijakan pembangunan yang eksklusif adalah kebijakan yang berorientasi pada kuantitas pertumbuhan belaka. Adapun ekses pembangunan yang eksklusif adalah adanya pertumbuhan ekonomi tinggi tetapi kemiskinan semakin bertambah sedang sistem jaminan sosial masih bersifat parsial dalam arti hanya berlaku bagi peserta yang masih aktif bekerja, karena  dalam penyelenggaraan  jaminan sosial dilakukan oleh BUMN Persero  yang tidak sesuai prinsi prinsip UU SJSN.
D.    Proses Transformasi PT. Jamsostek menjadi BPJS Ketenagakerjaan
1.      Proses Transformasi
UU BPJS mengatur seluruh ketentuan pembubaran dan pengalihan PT ASKES (Persero) dan PT JAMSOSTEK (Persero). Ketentuan pembubaran BUMN Persero tidak berlaku bagi pembubaran PT ASKES (Persero) dan PT JAMSOSTEK (Persero).  Pembubaran kedua Persero tersebut tidak perlu diikuti dengan likuidasi,  dan tidak perlu ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Namun, UU BPJS tidak jelas mengatur apakah ketentuan ini juga berlaku bagi pembubaran dan transformasi PT ASABRI (Persero) dan PT TASPEN (Persero).
Proses transformasi keempat BUMN Persero tersebut tidaklah sederajat.  Ada tiga derajat transformasi dalam UU BPJS.
Tingkat tertinggi adalah transformasi tegas. UU BPJS dengan tegas mengubah PT JAMSOSTEK (Persero) menjadi BPJS Ketenagakerjaan, membubarkan PT JAMSOSTEK (Persero) dan mencabut UU No. 3 Tahun 1992 tentang JAMSOSTEK.
Tingkat kedua adalah transformasi tidak tegas. UU BPJS tidak secara eksplisit mengubah PT ASKES (Persero) menjadi BPJS Kesehatan, maupun pencabutan peraturan perundangan terkait pembentukan PT ASKES (Persero). UU BPJS hanya menyatakan pembubaran PT ASKES (Persero) menjadi BPJS Kesehatan sejak beroperasinya BPJS Kesehatan pada 1 Januari 2014.  Perubahan PT ASKES (Persero) menjadi BPJS Kesehatan tersirat dalam kata pembubaran PT ASKES (Persero) dan beroperasinya BPJS Kesehatan.
Tingkat ketiga adalah tidak bertransformasi.  UU BPJS tidak menyatakan perubahan maupun pembubaran PT ASABRI (Persero) dan PT TASPEN (Persero).  UU BPJS hanya mengalihkan program dan fungsi kedua Persero sebagai pembayar pensiun ke BPJS Ketenagakerjaan selambatnya pada tahun 2029.  Bagaimana nasib kedua Persero tersebut masih menunggu rumusan peraturan Pemerintah yang didelegasikan oleh Pasal 66 UU BPJS.
Di samping terdapat tingkatan transformasi, UU BPJS menetapkan dua kriteria proses transformasi BPJS.  UU BPJS memberi tenggat 2 tahun  sejak pengundangan UU BPJS pada 25 November 2011 kepada PT ASKES (Persero) dan PT JAMSOSTEK (Persero) untuk beralih dari Perseroan menjadi badan hukum publik BPJS.  Namun, saat mulai beroperasi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan terpaut 1,5 tahun.

Kriteria pertama adalah transformasi simultan.  PT ASKES (Persero) pada waktu yang sama bertransformasi menjadi BPJS Kesehatan dan beroperasi. Mulai 1 Januari 2014 PT ASKES (Persero) berubah menjadi BPJS Kesehatan dan pada saat yang sama BPJS Kesehatan menyelenggarakan program jaminan kesehatan sesuai ketentuan UU SJSN.
Kriteria kedua adalah transformasi bertahap.  PT JAMSOSTEK (Persero) bertransformasi dan beroperasi secara bertahap.  Pada 1 Januari 2014, PT JAMSOSTEK (Persero) bubar dan berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan, namun tetap melanjutkan penyelenggaraan tiga program PT JAMSOSTEK (Persero) – jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian dan jaminan hari tua.  BPJS Ketenagakerjaan diberi waktu 1,5 tahun untuk menyesuaikan penyelenggaraan ketiga program tersebut dengan ketentuan UU SJSN dan menambahkan program jaminan pensiun ke dalam pengelolaannya. Selambat-lambatnya pada 1 Juli 2015, BPJS Ketenagakerjaan telah menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua dan jaminan pensiun sesuai UU SJSN.
2.      Proses Transformasi PT. Jamsostek (Persero) Menjadi BPJS Ketenagakerjaan
Berbeda dengan transformasi PT ASKES (Persero), transformasi PT Jamsostek dilakukan dalam dua tahap.
Tahap pertama adalah masa peralihan PT JAMSOSTEK (Persero) menjadi BPJS Ketenagakerjaan berlangsung selama 2 tahun, mulai 25 November 2011 sampai dengan 31 Desember 2013.  Tahap pertama diakhiri dengan pendirian BPJS Ketenagakerjaan pada 1 Januari 2014. 
Tahap kedua, adalah tahap penyiapan operasionalisasi BPJS Ketenagakerjaan untuk penyelenggaraan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian sesuai dengan ketentuan UU SJSN. Persiapan tahap kedua berlangsung selambat-lambatnya hingga 30 Juni 2015 dan diakhiri dengan beroperasinya BPJS Ketenagakerjaan untuk penyelenggaraan keempat program tersebut sesuai dengan ketentuan UU SJSN selambatnya pada 1 Juli 2015. 
Selama masa persiapan, Dewan Komisaris dan Direksi PT Jamsostek (Persero) ditugasi untuk menyiapkan:
  1. pengalihan program jaminan kesehatan Jamsostek kepada BPJS Kesehatan
  2. pengalihan asset dan liabilitas, serta hak dan kewajiban program jaminan pemeliharaan kesehatan PT Jamsostek (Persero) ke BPJS Kesehatan.
  3. Penyiapan beroperasinya BPJS Ketenagakerjaan berupa pembangunan sistem dan prosedur bagi penyelenggaraan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian, serta sosialisasi program kepada publik.
  4. pengalihan asset dan liabilitas, pegawai serta hak dan kewajiban PT Jamsostek (Persero) ke BPJS Ketenagakerjaan.
Penyiapan pengalihan asset dan liabilitas, pegawai serta hak dan kewajiban PT Jamsostek (Persero) ke BPJS Ketenagakerjaan mencakup penunjukan kantor akuntan publik untuk melakukan audit atas:
  1. laporan keuangan penutup PT Askes(Persero),
  2. laporan posisi keuangan pembukaan BPJS Kes,
  3. laporan posisi keuangan pembukaan dana jaminan kesehatan.
Seperti halnya pembubaran PT ASKES (Persero),  pada 1 Januari 2014 PT Jamsostek (Persero) dinyatakan bubar tanpa likuidasi dan PT Jamsostek (Persero) berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan.  Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1995 tentang Penetapan Badan Penyelenggara Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.

Semua asset dan liabilitas serta hak dan kewajiban hukum PT Jamsostek (Persero) menjadi asset dan liabilitas serta hak dan kewajiban hukum BPJS Ketenagakerjaan.  Semua pegawai PT Jamsostek (Persero) menjadi pegawai BPJS Ketenagakerjaan.
Pada saat pembubaran, Menteri BUMN selaku RUPS mengesahkan laporan posisi keuangan penutup PT Jamsostek (Persero) setelah dilakukan audit oleh kantor akuntan publik.  Menteri Keuangan mengesahkan posissi laporan keuangan pembukaan BPJS Ketenagakerjaan dan laporan posisi keuangan pembukaan dana jaminan ketenagakerjaan.
Sejak 1 Januari 2014 hingga selambat-lambatnya 30 Juni 2015, BPJS Ketenagakerjaan melanjutkan penyelenggaraan tiga program yang selama ini diselenggarakan oleh PT Jamsostek (Persero), yaitu program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua dan jaminan kematian, termasuk menerima peserta baru.  Penyelenggaraan ketiga program tersebut oleh BPJS Ketenagakerjaan masih berpedoman pada ketentuan Pasal 8 sampai dengan Pasal 15 UU No. 3  Tahun 1992 tentang Jamsostek.
Selambat-lambatnya pada 1 Juli 2015, BPJS Ketenagakerjaan beroperasi sesuai dengan ketentuan UU SJSN.  Seluruh pasal UU Jamsostek dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.  BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian sesuai dengan ketentuan UU SJSN untuk seluruh pekerja kecuali Pegawai Negeri Sipil, Anggota TNI dan POLRI.
Untuk pertama kali, Presiden mengangkat Dewan Komisaris dan Direksi PT Jamsostek (Persero) menjadi aggota Dewan Pengawas dan anggota Direksi BPJS Ketenagakerjaan untuk jangka waktu paling lama 2 tahun sejak BPJS Ketenagakerjaan mulai beroperasi. Ketentuan ini berpotensi menimbulkan kekosongan pimpinan dan pengawas BPJS Ketenagakerjaan di masa transisi, mulai saat pembubaran PT JAMSOSTEK pada 1 Januari 2014 hingga beroperasinya BPJS Ketenagakerjaan pada 1 Juli 2015.


 


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari pembahasan makalah di atas adalah sebagai berikut :
a.       Sejarah terbentuknya PT Jamsostek (Persero) mengalami proses yang panjang, dimulai dari UU No.33/1947, UU No.2/1951 tentang kecelakaan kerja, Peraturan Menteri Perburuhan (PMP) No.48/1952, PMP No.8/1956 tentang pengaturan bantuan untuk usaha penyelenggaraan kesehatan buruh, PMP No.15/1957 tentang pembentukan Yayasan Sosial Buruh, PMP No.5/1964 tentang pembentukan Yayasan Dana Jaminan Sosial (YDJS), diberlakukannya UU No.14/1969 tentang Pokok-pokok Tenaga Kerja, secara kronologis proses lahirnya asuransi sosial tenaga kerja semakin transparan. Pada tahun 1977 dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) No.33 tahun 1977 tentang pelaksanaan program asuransi sosial tenaga kerja (ASTEK). Terbit pula PP No.34/1977 tentang pembentukan wadah penyelenggara ASTEK yaitu Perum Astek. Berikutnya adalah lahirnya UU No.3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK). Dan melalui PP No.36/1995 ditetapkannya PT Jamsostek sebagai badan penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
b.      Adapun alasan penyelenggaraan jaminan sosial secara nasional adalah bahwa jaminan sosial sebagai instrumen negara yang dirancang untuk redistribusi risiko secara nasional sesuai asas dan prinsip-prinsip UU SJSN.
c.       BPJS harus setara dengan departemen dan atau paling tidak setara dengan lembaga non kementerian, karena fungsi dan tugas yang diemban setara dengan departemen.
d.      UU BPJS menetapkan dua kriteria proses transformasi BPJS.  Kriteria pertama adalah transformasi simultan.  Mulai 1 Januari 2014 PT ASKES (Persero) berubah menjadi BPJS Kesehatan dan pada saat yang sama BPJS Kesehatan menyelenggarakan program jaminan kesehatan sesuai ketentuan UU SJSN. Kriteria kedua adalah transformasi bertahap.  Pada 1 Januari 2014, PT JAMSOSTEK (Persero) bubar dan berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan, namun tetap melanjutkan penyelenggaraan tiga program PT JAMSOSTEK (Persero) – jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian dan jaminan hari tua. 
e.       Transformasi PT Jamsostek dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah masa peralihan PT JAMSOSTEK (Persero) menjadi BPJS Ketenagakerjaan berlangsung selama 2 tahun, mulai 25 November 2011 sampai dengan 31 Desember 2013.  Tahap pertama diakhiri dengan pendirian BPJS Ketenagakerjaan pada 1 Januari 2014. Tahap kedua adalah tahap penyiapan operasionalisasi BPJS Ketenagakerjaan untuk penyelenggaraan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pension dan jaminan kematian sesuai dengan ketentuan UU SJSN. Persiapan tahap kedua berlangsung selambat-lambatnya hingga 30 Juni 2015 dan diakhiri dengan beroperasinya BPJS Ketenagakerjaan untuk penyelenggaraan keempat program tersebut sesuai dengan ketentuan UU SJSN selambatnya pada 1 Juli 2015. 




DAFTAR PUSTAKA

Desky, Harjoni. Transformasi PT. Jamsostek, Transformasi Menuju Pelayanan Sempurna, 2012. http://www.pewarta-indonesia.com/inspirasi/opini/10487-transformasi-pt-jamsostek-transformasi-menuju-pelayanan-sempurna.pdf, diakses tanggal 22 November 2012.
PT Jamsostek (Persero), Sejarah Jamsostek, 2010, http://www.jamsostek.co.id/content/i.php?mid=2&id=9, diakses tanggal 22 November 2012.
Purwoko, Bambang. Memahami Bentuk Badan Hukum Bpjs Sebagaimana Mestinya, http://dc317.4shared.com/doc/mOgotnrn/preview.html, diakses tanggal 22 November 2012.


 

Hukum Ketenagakerjaan



 BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sistem Jaminan Sosial Nasional merupakan program negara yang bertujuan memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, yaitu: dalam Pasal 28 H ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) dan Pasal 34 ayat (1) ayat (2) dan melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor X/MPR/2001, dimana Presiden ditugaskan untuk membentuk sistem jaminan sosial nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial bagi masyarakat yang lebih menyeluruh dan terpadu.
Jaminan sosial ini merupakan satu bentuk sistem perlindungan sosial. Rys (2011) menyatakan perlindungan sosial lazimnya dipahami sebagai intervensi terpadu oleh berbagai pihak untuk melindungi individu, keluarga, atau komunitas dari berbagai resiko kehidupan sehari-hari yang mungkin terjadi, atau untuk mengatasi berbagai dampak guncangan ekonomi, atau untuk memberikan dukungan bagi kelompok-kelompok rentan di masyarakat. Sistem perlindungan sosial yang bersifat formal dapat dikelompokkan dalam beberapa bentuk yaitu (i) bantuan sosial (social assistance), (ii) tabungan hari tua (provident fund), (iii) asuransi sosial (social assurance), (iv) tanggung jawab pemberi kerja (employer’s liability) (Kertonegoro, 1982).
Sehubungan dengan hal tersebut, maka telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sebagai wujud komitmen pemerintahan dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial Nasional, selanjutnya ditindaklanjuti dengan membentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Hal ini juga berkait dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi terhadap perkara Nomor 007/PUU-III/2005.
Pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) juga akan melahirkan transformasi kelembagaan dari beberapa perusahaan persero yang selama ini ada, yaitu: PT. Jamsostek (Persero), PT. TASPEN (Persero), PT. ASABRI (Persero) dan PT. Askes (Persero), menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), yang berubah status menjadi badan hukum publik. Selain itu badan penyelenggara Jaminan Sosial selanjutnya akan dilaksanakan oleh 2 (dua) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), yaitu badan Penyelenggara Jaminan sosial (BPJS) Kesehatan dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Transformasi badan-badan penyelenggara jaminan sosial tersebut akan dilanjutkan dengan pengalihan peserta, program, aset dan liabilitas, pegawai, serta hak dan kewajiban.
B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut :
1)      Bagaimana Sejarah terbentuknya Jamsostek ?
2)      Mengapa diperlukan perubahan badan hukum pada BPJS ?
3)      Bagaimana proses kesetaraan bentuk badan hukum badan penyelenggara BPJS?
4)      Bagaimana proses transformasi PT. Jamsostek menjadi BPJS ketenagakerjaan ?
C.    Tujuan
Adapun tujuan pada makalah ini adalah sebagai berikut :
1)      Untuk mengetahui sejarah terbentuknya Jamsostek
2)      Untuk mengetahui perlunya perubahan badan hukum pada BPJS
3)      Untuk mengetahui proses kesetaraan bentuk badan hukum badan penyelengaraan BPJS
4)      Untuk mengetahui proses transformasi PT. Jamsostek menjadi BPJS ketenagakerjaan




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Terbentuknya Jamsostek
Penyelenggaraan program jaminan sosial merupakan salah satu tangung jawab dan kewajiban Negara - untuk memberikan perlindungan sosial ekonomi kepada masyarakat. Sesuai dengan kondisi kemampuan keuangan Negara, Indonesia seperti halnya berbagai Negara berkembang lainnya, mengembangkan program jaminan sosial berdasarkan funded social security, yaitu jaminan sosial yang didanai oleh peserta dan masih terbatas pada masyarakat pekerja di sektor formal.
Sejarah terbentuknya PT Jamsostek (Persero) mengalami proses yang panjang, dimulai dari UU No.33/1947, UU No.2/1951 tentang kecelakaan kerja, Peraturan Menteri Perburuhan (PMP) No.48/1952, PMP No.8/1956 tentang pengaturan bantuan untuk usaha penyelenggaraan kesehatan buruh, PMP No.15/1957 tentang pembentukan Yayasan Sosial Buruh, PMP No.5/1964 tentang pembentukan Yayasan Dana Jaminan Sosial (YDJS), diberlakukannya UU No.14/1969 tentang Pokok-pokok Tenaga Kerja, secara kronologis proses lahirnya asuransi sosial tenaga kerja semakin transparan.
Setelah mengalami kemajuan dan perkembangan, baik menyangkut landasan hukum, bentuk perlindungan maupun cara penyelenggaraan, pada tahun 1977 diperoleh suatu tonggak sejarah penting dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) No.33 tahun 1977 tentang pelaksanaan program asuransi sosial tenaga kerja (ASTEK), yang mewajibkan setiap pemberi kerja/pengusaha swasta dan BUMN untuk mengikuti program ASTEK. Terbit pula PP No.34/1977 tentang pembentukan wadah penyelenggara ASTEK yaitu Perum Astek.
Tonggak penting berikutnya adalah lahirnya UU No.3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK). Dan melalui PP No.36/1995 ditetapkannya PT Jamsostek sebagai badan penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Program Jamsostek memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan minimal bagi tenaga kerja dan keluarganya, dengan memberikan kepastian berlangsungnya arus penerimaan penghasilan keluarga sebagai pengganti sebagian atau seluruhnya penghasilan yang hilang, akibat risiko sosial.
Selanjutnya pada akhir tahun 2004, Pemerintah juga menerbitkan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, yang berhubungan dengan Amandemen UUD 1945 dengan perubahan pada pasal 34 ayat 2, dimana Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah mengesahkan Amandemen tersebut, yang kini berbunyi: "Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan". Manfaat perlindungan tersebut dapat memberikan rasa aman kepada pekerja sehingga dapat lebih berkonsentrasi dalam meningkatan motivasi maupun produktivitas kerja.
Kiprah Perseroan yang mengedepankan kepentingan dan hak normative Tenaga Kerja di Indonesia terus berlanjut. Sampai saat ini, PT Jamsostek (Persero) memberikan perlindungan 4 (empat) program, yang mencakup Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) bagi seluruh tenaga kerja dan keluarganya.
Dengan penyelenggaraan yang makin maju, program Jamsostek tidak hanya bermanfaat kepada pekerja dan pengusaha tetapi juga berperan aktif dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian bagi kesejahteraan masyarakat dan perkembangan masa depan bangsa.

B.     Perlunya Perubahan Badan Hukum pada BPJS  
Pemerintah, SJSN dan BPJS saling berkaitan satu sama lain. Dalam teori jaminan sosial sebagaimana dikemukakan Prof. George Rejda (1995) bahwa  pemerintah dalam penyelenggaraan jaminan sosial adalah satu pemerintah sehingga tidak ada lagi dikhotomi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, karena jaminan sosial sebagai faktor determinan berdirinya sebuah negara kesatuan termasuk di negara federasi untuk kesejahteraan rakyat.  Karena itu, teori tersebut diadopsi dalam UU SJSN bahwa fungsi pemerintah (baik pemerintah pusat maupun dan pemerintah pemerintah daerah) dalam penyelenggaraan sistem jaminan sosial disamping sebagai pengawas/regulator, juga sebagai fasilitator dan kontributor.
Adapun alasan penyelenggaraan jaminan sosial secara nasional adalah bahwa jaminan sosial sebagai instrumen negara yang dirancang untuk redistribusi risiko secara nasional sesuai asas dan prinsip-prinsip UU SJSN. SJSN adalah sistem jaminan sosial seumur hidup untuk keperluan perlindungan bagi seluruh rakyat (kaya, menengah dan miskin) sehingga bersifat mengikat dalam kewajiban baik tenaga-kerja, pemberi-kerja dan pemerintah). BPJS adalah wadah yang independen yang didukung dengan UU untuk mewujudkan terselenggaranya SJSN yang efektif. Karena dalam penyelenggaraan program jaminan sosial sebelumnya oleh Jamsostek, Taspen, Askes dan Asabri pada dasarnya telah sedang melakukan praktek dana amanah, maka dengan sendirinya wadahnya  merupakan wali amanat.  Berikut penjelasan singkat tentang ragam-dimensi jaminan sosial yang menjadi kewenangan BPJS yang dibentuk dengan UU :  
a)      Instrumen instrumen negara untuk pencegahan kemiskinan, pemberdayaan komunitas yang kurang beruntung dan pengentasan kemiskinan; 
b)      Penciptaan pendapatan hari tua bagi peserta, karena iuran jaminan hari tua pada dasarnya merupakan konsumsi yang ditangguhkan; 
c)      Salah satu faktor ekonomi untuk redistribusi risiko bagi yang memerlukan seperti bantuan iuran dari pemerintah untuk program kesehatan bagi penduduk miskin; 
d)     Alat monitor untuk minimalisasi uang primer melalui penguncian dana publik untuk tujuan investasi jangka panjang; 
e)      Faktor pengikat berdirinya sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena adanya kepastian jaminan dasar. 
C.    Kesetaraan Bentuk Badan Hukum Badan Penyelenggara BPJS
Dengan memperhatikan dimensi jaminan sosial yang sangat beragam itu, maka BPJS sebaiknya memiliki otonomi khusus seperti di negara negara lain setara dengan departemen walaupun pimpinan lembaga tersebut tidak merupakan bagian dari kabinet. Kedudukan lembaga tersebut khusus untuk jaminan sosial berada pada negara federal sedang jaringan untuk pelayanan kesehatan kepada peserta tersebar di seluruh negara bagian termasuk di tingkat distrik. 
BPJS yang otonom ini sesungguhnya merupakan departemen jaminan sosial yang dipimpin seorang Menteri yang biasanya menangani program bantuan sosial seperti Inggris, Australia dan Selandia Baru. Bantuan sosial  merupakan salah satu komponen jaminan sosial seperti asuransi sosial yang dibentuk dengan UU yang terpisah dengan UU Bantuan Sosial. Badan penyelenggara program asuransi sosial pada umumnya merupakan lembaga semi otonomi atau lembaga non-departemen yang dipimpin Ketua /  Kepala tetapi tetap memiliki otoritas  dalam  penindakan hukum dan penetapan manfaat program sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Akan tetapi kewenangan penindakan hukum di Indonesia sebagaimana mengacu pada UU No. 8 Tahun 1981 Tentang Penyidikan Umum merupakan kewenangan Polri dan PNS di bidangnya masing masing, karena Indonesia menganut hukum kontinental.
Perbedaan antara lembaga otonomi dan lembaga semi-otonomi jaminan sosial terletak pada lingkup yang ditangani. Misalkan program bantuan sosial yang tugas utamanya:  reduksi  kemiskinan dan pemberdayaan  komunitas yang kurang beruntung yang selanjutnya ditindak-lanjuti dengan bantuan skema financial mikro dengan melibatkan dukungan lintas kementerian.  
BPJS harus setara dengan departemen dan atau paling tidak setara dengan  lembaga non kementerian, karena fungsi dan tugas yang diemban setara dengan departemen, sebagai contoh US social security administration merupakan lembaga otonomi setara dengan departemen walaupun hanya menangani program hari tua, kematian dan asuransi pengangguran. Akan tetapi, lembaga ini memiliki jaringan yang luas dengan berbagai departemen yang terkait dengan sistem jaminan sosial. Dalam hal penyelenggaraan jaminan sosial, negara bagian tidak menyelenggarakan administrasi jaminan sosial melainkan mefasilitasi infrastruktur jarinangan kesehatan yang tersebar di seluruh negara bagian untuk menopang program jaminan social yang diselenggarakan Negara federal.  Adanya wacana untuk pembentukan BPJS tunggal oleh Konsultan Asing di Indonesia biasanya hanya berlaku untuk pembentukan DJSN setara dengan Kementerian yang melakukan fungsi regulasi. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa di seluruh dunia khususnya di Asean pembentukan BPJS.
BPJS masih fokus pada BPJS per kepesertaan, yaitu terpisahnya BPJS kepesertaan tenaga kerja sektor swasta, BPJS kepesertaan PNS dan BPJS kepesertaan TNI-Polri beserta PNS yang bekerja di Kementerian Pertahanan dan THI-Polri. BPJS tersebut masih relevan dipertahankan karena perbedaan masalah labor turnover. Labor turnover di sektor swasta sangat tinggi sedangkan labor turnover di sektor publik relatif rendah sehingga masih relevan mempertahankan BPJS per kepesertaan untuk alasan keseimbangan dalam implementasi UU SJSN di masa datang.    
Implementasi UU No. 40 Tahun 2004 adalah sebagai titik awal harapan menuju welfare state. Harapan yang besar dalam mewujudkan welfare state sepenuhnya tergantung dari komitmen, konsensus para penyelenggara negara dan kordinasi instansi terkait serta dukungan masyarakat, karena tujuan social security adalah untuk kesejahteraan rakyat Indonesia melalui pemusatan risiko (pooling of risk). Tidak hanya itu, tugas yang terberat dalam penyelenggaraan SJSN ke depan adalah sinkronisasi aturan perundangan yang menjadi tanggung-jawab Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN).  Karena itu, seluruh komponen  Negara yang meliputi pemerintah, pemberi-kerja, tenaga kerja dan masyarakat luas harus  mematuhi secara bersama dan mengakui keberadaan UU No. 40 Tahun 2004 Tentang SJSN. Kepatuhan terhadap UU SJSN tersebut semata ditujukan bagi kepentingan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28-H dan Pasal 34 UUD 1945.  
Eksistensi  BPJS sebagai adminstratur jaminan sosial  yang memerlukan beberapa BPJS sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 5 UU SJSN adalah adalah ditujukan untuk mengimplementasikan prinsip kepesertaan wajib dan prinsip gotong royong.  Prinsip kepesertaaan wajib berlaku secara nasional. Prinsip kepesertaan wajib adalah salah satu kharakteristik asuransi sosial / jaminan sosial. Karena itu diperlukan satu BPJS atau beberapa BPJS agar terjadi pemusatan risiko (pooling of risk) untuk redistribusi risiko. Efektifitas dalam penyelenggaraan jaminan social untuk memenuhi prinsip solidaritas (gotong royong) diperlukan satu atau beberapa administrator penyelenggara yang dikukung dengan berbagai fasilitas fasilitas kesehatan yang tersebar di seluruh Negara bagian. Dalam istilah jaminan sosial sebagai public goods  sebenarnya tidak dikenal  istilah dikhotomi antara pemerintah federal dan pemerintah negara bagian. Demikian halnya dengan NKRI juga tidak boleh ada istilah pemerintah pusat dan pemerinah daerah dalam penyelenggaraan jaminan sosial tetapi yang ada pengertian pemerintah secara keseluruhan sebagai penanggung jawab  terhadap penyelenggaraan  jaminan sosial. 
Eksistensi BPJS yang sekarang ada sebaiknya mengadopsi pada asas asas dan prinsip prinsip UU SJSN sebagaimana dinyatakan dalam Pasal-pasal 2 dan 4 UU No. 40 Tahun 2004 untuk segera mempersiapkan transformasi BUMN Persero ke badan hukum nirlaba.  
Penyelenggaraan program jaminan sosial oleh BUMN Persero selama ini cenderung eksklusif. Salah satu kegagalan dalam reduksi kemiskinan sebagai tema utama dalam Konferensi GTZ se Asia di New Delhi pada tanggal 14-16 September 2009 adalah adanya kebijakan pembangunan yang bersifat eksklusif khususnya di Asia kecuali Jepang dan Korea  Selatan. Kebijakan pembangunan yang eksklusif adalah kebijakan yang berorientasi pada kuantitas pertumbuhan belaka. Adapun ekses pembangunan yang eksklusif adalah adanya pertumbuhan ekonomi tinggi tetapi kemiskinan semakin bertambah sedang sistem jaminan sosial masih bersifat parsial dalam arti hanya berlaku bagi peserta yang masih aktif bekerja, karena  dalam penyelenggaraan  jaminan sosial dilakukan oleh BUMN Persero  yang tidak sesuai prinsi prinsip UU SJSN.
D.    Proses Transformasi PT. Jamsostek menjadi BPJS Ketenagakerjaan
1.      Proses Transformasi
UU BPJS mengatur seluruh ketentuan pembubaran dan pengalihan PT ASKES (Persero) dan PT JAMSOSTEK (Persero). Ketentuan pembubaran BUMN Persero tidak berlaku bagi pembubaran PT ASKES (Persero) dan PT JAMSOSTEK (Persero).  Pembubaran kedua Persero tersebut tidak perlu diikuti dengan likuidasi,  dan tidak perlu ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Namun, UU BPJS tidak jelas mengatur apakah ketentuan ini juga berlaku bagi pembubaran dan transformasi PT ASABRI (Persero) dan PT TASPEN (Persero).
Proses transformasi keempat BUMN Persero tersebut tidaklah sederajat.  Ada tiga derajat transformasi dalam UU BPJS.
Tingkat tertinggi adalah transformasi tegas. UU BPJS dengan tegas mengubah PT JAMSOSTEK (Persero) menjadi BPJS Ketenagakerjaan, membubarkan PT JAMSOSTEK (Persero) dan mencabut UU No. 3 Tahun 1992 tentang JAMSOSTEK.
Tingkat kedua adalah transformasi tidak tegas. UU BPJS tidak secara eksplisit mengubah PT ASKES (Persero) menjadi BPJS Kesehatan, maupun pencabutan peraturan perundangan terkait pembentukan PT ASKES (Persero). UU BPJS hanya menyatakan pembubaran PT ASKES (Persero) menjadi BPJS Kesehatan sejak beroperasinya BPJS Kesehatan pada 1 Januari 2014.  Perubahan PT ASKES (Persero) menjadi BPJS Kesehatan tersirat dalam kata pembubaran PT ASKES (Persero) dan beroperasinya BPJS Kesehatan.
Tingkat ketiga adalah tidak bertransformasi.  UU BPJS tidak menyatakan perubahan maupun pembubaran PT ASABRI (Persero) dan PT TASPEN (Persero).  UU BPJS hanya mengalihkan program dan fungsi kedua Persero sebagai pembayar pensiun ke BPJS Ketenagakerjaan selambatnya pada tahun 2029.  Bagaimana nasib kedua Persero tersebut masih menunggu rumusan peraturan Pemerintah yang didelegasikan oleh Pasal 66 UU BPJS.
Di samping terdapat tingkatan transformasi, UU BPJS menetapkan dua kriteria proses transformasi BPJS.  UU BPJS memberi tenggat 2 tahun  sejak pengundangan UU BPJS pada 25 November 2011 kepada PT ASKES (Persero) dan PT JAMSOSTEK (Persero) untuk beralih dari Perseroan menjadi badan hukum publik BPJS.  Namun, saat mulai beroperasi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan terpaut 1,5 tahun.

Kriteria pertama adalah transformasi simultan.  PT ASKES (Persero) pada waktu yang sama bertransformasi menjadi BPJS Kesehatan dan beroperasi. Mulai 1 Januari 2014 PT ASKES (Persero) berubah menjadi BPJS Kesehatan dan pada saat yang sama BPJS Kesehatan menyelenggarakan program jaminan kesehatan sesuai ketentuan UU SJSN.
Kriteria kedua adalah transformasi bertahap.  PT JAMSOSTEK (Persero) bertransformasi dan beroperasi secara bertahap.  Pada 1 Januari 2014, PT JAMSOSTEK (Persero) bubar dan berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan, namun tetap melanjutkan penyelenggaraan tiga program PT JAMSOSTEK (Persero) – jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian dan jaminan hari tua.  BPJS Ketenagakerjaan diberi waktu 1,5 tahun untuk menyesuaikan penyelenggaraan ketiga program tersebut dengan ketentuan UU SJSN dan menambahkan program jaminan pensiun ke dalam pengelolaannya. Selambat-lambatnya pada 1 Juli 2015, BPJS Ketenagakerjaan telah menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua dan jaminan pensiun sesuai UU SJSN.
2.      Proses Transformasi PT. Jamsostek (Persero) Menjadi BPJS Ketenagakerjaan
Berbeda dengan transformasi PT ASKES (Persero), transformasi PT Jamsostek dilakukan dalam dua tahap.
Tahap pertama adalah masa peralihan PT JAMSOSTEK (Persero) menjadi BPJS Ketenagakerjaan berlangsung selama 2 tahun, mulai 25 November 2011 sampai dengan 31 Desember 2013.  Tahap pertama diakhiri dengan pendirian BPJS Ketenagakerjaan pada 1 Januari 2014. 
Tahap kedua, adalah tahap penyiapan operasionalisasi BPJS Ketenagakerjaan untuk penyelenggaraan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian sesuai dengan ketentuan UU SJSN. Persiapan tahap kedua berlangsung selambat-lambatnya hingga 30 Juni 2015 dan diakhiri dengan beroperasinya BPJS Ketenagakerjaan untuk penyelenggaraan keempat program tersebut sesuai dengan ketentuan UU SJSN selambatnya pada 1 Juli 2015. 
Selama masa persiapan, Dewan Komisaris dan Direksi PT Jamsostek (Persero) ditugasi untuk menyiapkan:
  1. pengalihan program jaminan kesehatan Jamsostek kepada BPJS Kesehatan
  2. pengalihan asset dan liabilitas, serta hak dan kewajiban program jaminan pemeliharaan kesehatan PT Jamsostek (Persero) ke BPJS Kesehatan.
  3. Penyiapan beroperasinya BPJS Ketenagakerjaan berupa pembangunan sistem dan prosedur bagi penyelenggaraan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian, serta sosialisasi program kepada publik.
  4. pengalihan asset dan liabilitas, pegawai serta hak dan kewajiban PT Jamsostek (Persero) ke BPJS Ketenagakerjaan.
Penyiapan pengalihan asset dan liabilitas, pegawai serta hak dan kewajiban PT Jamsostek (Persero) ke BPJS Ketenagakerjaan mencakup penunjukan kantor akuntan publik untuk melakukan audit atas:
  1. laporan keuangan penutup PT Askes(Persero),
  2. laporan posisi keuangan pembukaan BPJS Kes,
  3. laporan posisi keuangan pembukaan dana jaminan kesehatan.
Seperti halnya pembubaran PT ASKES (Persero),  pada 1 Januari 2014 PT Jamsostek (Persero) dinyatakan bubar tanpa likuidasi dan PT Jamsostek (Persero) berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan.  Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1995 tentang Penetapan Badan Penyelenggara Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.

Semua asset dan liabilitas serta hak dan kewajiban hukum PT Jamsostek (Persero) menjadi asset dan liabilitas serta hak dan kewajiban hukum BPJS Ketenagakerjaan.  Semua pegawai PT Jamsostek (Persero) menjadi pegawai BPJS Ketenagakerjaan.
Pada saat pembubaran, Menteri BUMN selaku RUPS mengesahkan laporan posisi keuangan penutup PT Jamsostek (Persero) setelah dilakukan audit oleh kantor akuntan publik.  Menteri Keuangan mengesahkan posissi laporan keuangan pembukaan BPJS Ketenagakerjaan dan laporan posisi keuangan pembukaan dana jaminan ketenagakerjaan.
Sejak 1 Januari 2014 hingga selambat-lambatnya 30 Juni 2015, BPJS Ketenagakerjaan melanjutkan penyelenggaraan tiga program yang selama ini diselenggarakan oleh PT Jamsostek (Persero), yaitu program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua dan jaminan kematian, termasuk menerima peserta baru.  Penyelenggaraan ketiga program tersebut oleh BPJS Ketenagakerjaan masih berpedoman pada ketentuan Pasal 8 sampai dengan Pasal 15 UU No. 3  Tahun 1992 tentang Jamsostek.
Selambat-lambatnya pada 1 Juli 2015, BPJS Ketenagakerjaan beroperasi sesuai dengan ketentuan UU SJSN.  Seluruh pasal UU Jamsostek dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.  BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian sesuai dengan ketentuan UU SJSN untuk seluruh pekerja kecuali Pegawai Negeri Sipil, Anggota TNI dan POLRI.
Untuk pertama kali, Presiden mengangkat Dewan Komisaris dan Direksi PT Jamsostek (Persero) menjadi aggota Dewan Pengawas dan anggota Direksi BPJS Ketenagakerjaan untuk jangka waktu paling lama 2 tahun sejak BPJS Ketenagakerjaan mulai beroperasi. Ketentuan ini berpotensi menimbulkan kekosongan pimpinan dan pengawas BPJS Ketenagakerjaan di masa transisi, mulai saat pembubaran PT JAMSOSTEK pada 1 Januari 2014 hingga beroperasinya BPJS Ketenagakerjaan pada 1 Juli 2015.


 


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari pembahasan makalah di atas adalah sebagai berikut :
a.       Sejarah terbentuknya PT Jamsostek (Persero) mengalami proses yang panjang, dimulai dari UU No.33/1947, UU No.2/1951 tentang kecelakaan kerja, Peraturan Menteri Perburuhan (PMP) No.48/1952, PMP No.8/1956 tentang pengaturan bantuan untuk usaha penyelenggaraan kesehatan buruh, PMP No.15/1957 tentang pembentukan Yayasan Sosial Buruh, PMP No.5/1964 tentang pembentukan Yayasan Dana Jaminan Sosial (YDJS), diberlakukannya UU No.14/1969 tentang Pokok-pokok Tenaga Kerja, secara kronologis proses lahirnya asuransi sosial tenaga kerja semakin transparan. Pada tahun 1977 dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) No.33 tahun 1977 tentang pelaksanaan program asuransi sosial tenaga kerja (ASTEK). Terbit pula PP No.34/1977 tentang pembentukan wadah penyelenggara ASTEK yaitu Perum Astek. Berikutnya adalah lahirnya UU No.3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK). Dan melalui PP No.36/1995 ditetapkannya PT Jamsostek sebagai badan penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
b.      Adapun alasan penyelenggaraan jaminan sosial secara nasional adalah bahwa jaminan sosial sebagai instrumen negara yang dirancang untuk redistribusi risiko secara nasional sesuai asas dan prinsip-prinsip UU SJSN.
c.       BPJS harus setara dengan departemen dan atau paling tidak setara dengan lembaga non kementerian, karena fungsi dan tugas yang diemban setara dengan departemen.
d.      UU BPJS menetapkan dua kriteria proses transformasi BPJS.  Kriteria pertama adalah transformasi simultan.  Mulai 1 Januari 2014 PT ASKES (Persero) berubah menjadi BPJS Kesehatan dan pada saat yang sama BPJS Kesehatan menyelenggarakan program jaminan kesehatan sesuai ketentuan UU SJSN. Kriteria kedua adalah transformasi bertahap.  Pada 1 Januari 2014, PT JAMSOSTEK (Persero) bubar dan berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan, namun tetap melanjutkan penyelenggaraan tiga program PT JAMSOSTEK (Persero) – jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian dan jaminan hari tua. 
e.       Transformasi PT Jamsostek dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah masa peralihan PT JAMSOSTEK (Persero) menjadi BPJS Ketenagakerjaan berlangsung selama 2 tahun, mulai 25 November 2011 sampai dengan 31 Desember 2013.  Tahap pertama diakhiri dengan pendirian BPJS Ketenagakerjaan pada 1 Januari 2014. Tahap kedua adalah tahap penyiapan operasionalisasi BPJS Ketenagakerjaan untuk penyelenggaraan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pension dan jaminan kematian sesuai dengan ketentuan UU SJSN. Persiapan tahap kedua berlangsung selambat-lambatnya hingga 30 Juni 2015 dan diakhiri dengan beroperasinya BPJS Ketenagakerjaan untuk penyelenggaraan keempat program tersebut sesuai dengan ketentuan UU SJSN selambatnya pada 1 Juli 2015. 




DAFTAR PUSTAKA

Desky, Harjoni. Transformasi PT. Jamsostek, Transformasi Menuju Pelayanan Sempurna, 2012. http://www.pewarta-indonesia.com/inspirasi/opini/10487-transformasi-pt-jamsostek-transformasi-menuju-pelayanan-sempurna.pdf, diakses tanggal 22 November 2012.
PT Jamsostek (Persero), Sejarah Jamsostek, 2010, http://www.jamsostek.co.id/content/i.php?mid=2&id=9, diakses tanggal 22 November 2012.
Purwoko, Bambang. Memahami Bentuk Badan Hukum Bpjs Sebagaimana Mestinya, http://dc317.4shared.com/doc/mOgotnrn/preview.html, diakses tanggal 22 November 2012.